Reuters https://www.reuters.com Reuters
Reuters https://www.reuters.com Reuters

17 Tahun Mundur: Yuan Terkapar, PBOC Dipertanyakan

ForexNews.id – Sebagian besar mata uang di kawasan Asia terpantau melemah atau stagnan pada perdagangan Kamis, di tengah respons pasar yang minim terhadap penundaan penerapan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Meskipun jeda tersebut sempat menimbulkan harapan akan meredanya tensi dagang global, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tekanan yang masih nyata, terutama terhadap yuan China.

Yuan onshore China (USD/CNY) melonjak ke level tertinggi sejak akhir 2007, menembus angka 7,35.

Pencapaian ini mencerminkan tekanan hebat terhadap mata uang Negeri Tirai Bambu setelah keputusan Trump yang tidak hanya mengecualikan China dari penundaan tarif, tetapi juga menaikkan tarif menjadi 125% terhadap berbagai produk impor asal negara tersebut.

Sebagai balasan, Beijing menjatuhkan tarif balasan hingga 84% pada produk-produk dari AS.

Sikap konfrontatif kedua negara memperuncing eskalasi perang dagang, yang juga tercermin dalam pernyataan keras dari pejabat tinggi China yang bersumpah untuk “melawan hingga akhir.”

Dalam konteks ini, otoritas moneter China tampak merespons dengan membiarkan yuan melemah secara bertahap.

People’s Bank of China (PBOC) telah menetapkan titik tengah harian yang lebih lemah selama enam sesi berturut-turut, langkah yang dinilai sebagai strategi untuk menjaga daya saing ekspor di tengah tekanan tarif.

Namun, pelemahan yuan ini terjadi di saat yang kurang menguntungkan.

Data inflasi China yang dirilis Kamis pagi menunjukkan penurunan yang lebih dalam dari ekspektasi, baik untuk indeks harga konsumen (CPI) maupun produsen (PPI) pada bulan Maret.

Kombinasi perang dagang dan tekanan domestik ini menciptakan tantangan ganda bagi Beijing dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Sementara itu, yen Jepang menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menunjukkan performa positif, dengan pasangan USD/JPY turun sebesar 0,7%.

Yen menguat seiring meningkatnya minat investor terhadap aset safe haven dan didorong oleh data inflasi produsen Jepang yang lebih kuat dari ekspektasi.

Pasar kini semakin mempertimbangkan kemungkinan kenaikan suku bunga lanjutan oleh Bank of Japan (BOJ), terutama setelah Gubernur Kazuo Ueda menyatakan bahwa kebijakan pengetatan moneter masih sesuai jalur meski kondisi eksternal penuh ketidakpastian.

Di sisi lain, dolar Amerika Serikat justru menunjukkan performa yang rapuh.

Indeks dolar turun sekitar 0,2% dalam perdagangan Asia, setelah sebelumnya menguat singkat di sesi New York.

Meskipun risiko resesi di AS mulai surut berkat penundaan tarif Trump selama 90 hari, investor masih berhati-hati terhadap arah kebijakan ekonomi Washington, yang kerap berubah-ubah.

Mata uang regional lainnya juga mencerminkan sentimen hati-hati. Dolar Australia (AUD/USD) hanya menguat tipis 0,2%, bangkit dari posisi terendah sejak pandemi COVID-19.

Sementara won Korea Selatan (USD/KRW) melemah hingga 0,9%, dan dolar Singapura (USD/SGD) turut tergelincir 0,2%.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pasar mata uang Asia masih berada dalam pusaran ketidakpastian, di mana setiap keputusan kebijakan dari Washington maupun Beijing dapat berdampak langsung terhadap arus modal, nilai tukar, dan prospek pertumbuhan ekonomi kawasan. (AA)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *