Reuters https://www.reuters.com
Reuters https://www.reuters.com

Obligasi AS di Tangan China: Antara Alat Tawar Ekonomi dan Bumerang Finansial

ForexNews.id – Di tengah meningkatnya tensi geopolitik dan perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, muncul kembali satu pertanyaan lama yang kini kembali relevan: akankah Beijing menggunakan kepemilikan besar atas obligasi pemerintah AS sebagai senjata tekanan ekonomi terhadap Washington?

Dengan kepemilikan sebesar lebih dari US$760 miliar dalam bentuk US Treasury (UST), China menjadi salah satu kreditor terbesar bagi ekonomi AS.

Namun, apakah tumpukan surat utang ini benar-benar bisa menjadi alat negosiasi atau justru merupakan beban tersembunyi bagi Beijing sendiri?

Sisi Strategis: Opsi yang Tak Pernah Diaktifkan

Gagasan bahwa China dapat menjual sebagian besar atau seluruh obligasi AS-nya telah lama menjadi semacam “senjata nuklir” dalam konflik finansial—terlalu berisiko untuk digunakan, tapi cukup kuat untuk dipakai sebagai ancaman.

Namun, sejak 2015, People’s Bank of China (PBoC) secara strategis menahan diri dari menjual UST secara agresif, bahkan ketika tekanan terhadap yuan meningkat.

Alasannya jelas: penjualan besar-besaran obligasi AS tidak hanya akan melemahkan nilai aset cadangan China, tapi juga bisa menyebabkan kepanikan pasar global dan mempercepat arus keluar modal dari Tiongkok sendiri.

Efek Domino dan Dilema Ekonomi

Jika China menjual UST secara besar-besaran, dampaknya terhadap pasar global bisa signifikan.

Harga obligasi AS akan turun, imbal hasil akan naik, dan suku bunga domestik AS berpotensi melonjak.

Namun, efek ini tidak serta-merta menguntungkan China.

Nilai dolar bisa menguat sebagai reaksi pasar terhadap gejolak finansial, membuat yuan makin melemah dan memaksa China melakukan intervensi lebih besar terhadap nilai tukarnya.

Dengan kata lain, tindakan ini bisa menjadi bumerang—di mana tekanan terhadap AS juga berarti mengguncang stabilitas makroekonomi China sendiri.

Pergeseran ke Diplomasi Finansial Multilateral

Alih-alih menggunakan UST sebagai senjata langsung, China dalam beberapa tahun terakhir lebih memilih strategi yang lebih halus: memperluas pengaruh keuangan melalui investasi di pasar Eropa, Belt and Road Initiative, serta dorongan untuk memperkuat penggunaan yuan dalam perdagangan global.

Dalam konteks ini, pelepasan bertahap UST bukan dilakukan sebagai bentuk ancaman, tapi sebagai bagian dari restrukturisasi portofolio jangka panjang—menandakan pergeseran dari ketergantungan pada dolar menuju lanskap keuangan multipolar.

AS Tidak Sepenuhnya Kebal

Meski Menteri Keuangan AS Scott Bessent meremehkan pengaruh China atas pasar obligasi AS, pasar keuangan tidak seoptimis itu.

Aksi jual besar-besaran yang terjadi pekan lalu, dengan lonjakan imbal hasil obligasi 10 tahun ke level 4,59%, menunjukkan betapa sensitifnya investor terhadap dinamika geopolitik.

Sikap defensif investor global memperlihatkan bahwa meskipun senjata ini belum pernah digunakan, keberadaannya cukup untuk menciptakan ketidakpastian—dan dalam dunia keuangan, ketidakpastian adalah musuh utama stabilitas.

Kesimpulan: Permainan Catur, Bukan Pertarungan Tinju

Relasi keuangan antara AS dan China bukan sekadar kontestasi kekuasaan, melainkan permainan catur dengan risiko sistemik di setiap langkah.

Beijing mungkin memegang pion-pion penting dalam bentuk obligasi AS, tapi setiap gerakan harus diperhitungkan dengan presisi tinggi agar tidak menciptakan kekacauan yang justru merugikan diri sendiri.

Dalam realitas global yang saling terkait erat ini, senjata ekonomi sering kali lebih efektif ketika tidak digunakan, tetapi tetap terlihat di atas meja. (AA)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *