ForexNews.id – Pasar keuangan Asia menunjukkan penguatan signifikan pada mata uang-mata uang utamanya hari Selasa, didorong oleh pelemahan dolar AS yang terus berlanjut.
Melemahnya greenback ini diperparah oleh ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump kembali menekan Federal Reserve untuk memangkas suku bunga.
Dalam perdagangan Asia pagi hari, Indeks Dolar AS merosot sebesar 0,1%, memperpanjang penurunan lebih dari 1% dari sesi sebelumnya.
Penurunan ini membawa indeks ke titik terendahnya sejak Maret 2022—sebuah level yang mencerminkan hilangnya kepercayaan pasar terhadap arah kebijakan moneter AS.
Isu ini semakin kompleks setelah penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, mengonfirmasi bahwa Trump tengah meninjau opsi hukum untuk memecat Ketua The Fed, Jerome Powell—langkah kontroversial yang memperkeruh hubungan antara eksekutif dan otoritas moneter independen AS.
Dampaknya terasa langsung di pasar valuta asing Asia. Yen Jepang menguat, mendorong USD/JPY turun 0,5%.
Sementara itu, dolar Australia naik 0,4% terhadap dolar AS, mencerminkan optimisme terhadap potensi ekspor dan stabilitas regional.
Tak ketinggalan, dolar Singapura dan won Korea Selatan juga mencatat kenaikan, masing-masing 0,1%. Rupee India ikut menguat dalam pola serupa.
Namun tidak semua mata uang Asia menikmati keuntungan ini.
Yuan Tiongkok justru melemah meskipun bank sentral China, People’s Bank of China (PBOC), mencoba menahan depresiasi dengan menetapkan kurs tengah harian yang lebih kuat dari perkiraan.
Pasangan USD/CNY naik 0,2%, dan USD/CNH naik 0,3%, menandakan tekanan eksternal tetap besar terhadap mata uang tersebut.
Di balik pelemahan yuan terdapat bayangan konflik dagang yang belum mereda. Pemerintah China secara terbuka memperingatkan negara-negara mitra dagangnya agar tidak tunduk pada tekanan Amerika Serikat.
Beijing menuduh Washington menggunakan tarif dan sanksi sebagai alat politik dalam persaingan global, setelah AS mengenakan bea hingga 145% atas berbagai produk asal China.
Langkah China dalam menetapkan nilai tukar yuan lebih tinggi dari ekspektasi pasar—dengan deviasi lebih dari 800 pips—dianggap sebagai sinyal kuat bahwa Beijing siap mengambil langkah taktis demi menjaga stabilitas sistem keuangan dalam negeri.
Kondisi ini menciptakan lanskap yang kompleks bagi investor global.
Di satu sisi, penguatan mata uang Asia menunjukkan ketahanan pasar kawasan; di sisi lain, ketegangan geopolitik dan ketidakpastian kebijakan AS menciptakan risiko volatilitas yang terus mengintai.
Pasar kini menantikan respons lanjutan dari Federal Reserve, sementara tekanan dari Gedung Putih dan gangguan dari luar negeri terus menjadi faktor utama yang membentuk dinamika global dalam waktu dekat. (AA)