Pelemahan dolar terjadi setelah Gedung Putih mengumumkan penyelidikan baru terkait kemungkinan pengenaan tarif terhadap semua impor mineral penting—bahan strategis yang sebagian besar dipasok oleh China. Langkah ini menambah ketegangan dalam konflik dagang yang telah berlangsung panas sejak awal bulan, dengan AS memberlakukan tarif kumulatif hingga 145% terhadap produk-produk China, yang segera dibalas Beijing dengan tarif 125% atas barang-barang asal AS.
Sementara itu, investor tengah menantikan data terbaru mengenai kepemilikan obligasi pemerintah AS oleh China. Dengan nilai kepemilikan yang saat ini mencapai sekitar $760 miliar, pasar mencermati apakah Beijing akan mulai melepaskan aset-aset AS sebagai bentuk tekanan balik terhadap Washington. “Kami meragukan akan ada perubahan besar dalam data nanti,” tulis analis dari ING, “namun jika kami keliru, pasar bisa menghadapi gelombang baru penjualan dolar dan obligasi.”
Dalam sesi perdagangan selanjutnya, fokus juga akan tertuju pada data penjualan ritel AS serta pidato dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Pidato ini dinanti setelah pernyataan dovish yang mengejutkan dari Gubernur Fed Christopher Waller sehari sebelumnya, yang menimbulkan spekulasi bahwa bank sentral mungkin mengambil pendekatan lebih hati-hati terhadap kenaikan suku bunga.
Sementara itu, poundsterling justru menguat meskipun data inflasi Inggris menunjukkan pelambatan. Kenaikan ini mencerminkan kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Inggris dibandingkan dengan ketidakpastian yang sedang melanda AS. (AA)