ForexNews.id – Dolar Amerika Serikat kembali tergelincir pada awal pekan ini seiring meningkatnya kekhawatiran akan resesi di Negeri Paman Sam serta gangguan besar terhadap perekonomian global akibat kebijakan tarif perdagangan dari pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.
Pada pukul 05:30 ET (09:30 GMT), Indeks Dolar yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama dunia melemah 0,2% ke level 102,600.
Ini merupakan kelanjutan dari tren penurunan yang membawa dolar ke titik terendah dalam enam bulan pada pekan lalu, sebelum sempat mengalami pemulihan moderat.
Tarif Trump Kembali Menghantui Dolar
Penyebab utama dari tekanan terhadap dolar adalah pernyataan terbaru Donald Trump, yang mengindikasikan bahwa tarif perdagangan akan tetap menjadi instrumen utama dalam kebijakan ekonominya.
Dalam pernyataan hari Minggu, Trump menyebut tarif sebagai satu-satunya cara untuk memperbaiki defisit perdagangan AS yang membengkak terhadap mitra dagangnya seperti China dan Uni Eropa.
Reaksi pasar terhadap retorika tersebut langsung terasa.
Ketidakpastian mengenai arah perdagangan global mendorong investor ke aset-aset yang lebih aman dan defensif.
Goldman Sachs pun meningkatkan peluang terjadinya resesi di AS pada 2025 menjadi 45%, naik signifikan dari 35% hanya seminggu sebelumnya.
Menurut analis dari ING, “Keruntuhan berkelanjutan di pasar ekuitas membuat investor semakin mencari perlindungan. Di tengah defisit transaksi berjalan AS yang mencapai 4%, dolar menjadi kurang menarik di mata investor asing.”
Fed Ditekan untuk Bertindak
Di tengah gejolak ini, pasar kini mulai memproyeksikan bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebesar 110 basis poin tahun ini.
Harapan akan kebijakan moneter yang lebih longgar semakin menguat setelah pernyataan terbaru dari pejabat Fed, yang memberi sinyal kekhawatiran terhadap dampak kebijakan dagang terhadap perekonomian domestik.
Respons Global: Euro dan Yen Menguat
Sementara dolar tertekan, euro justru mengambil keuntungan. EUR/USD naik 0,2% ke 1,0976, terbantu oleh status euro sebagai alternatif likuid dari dolar dan surplus transaksi berjalannya yang stabil.
Namun, data produksi industri Jerman yang mengecewakan memberikan batasan pada kenaikan mata uang tunggal ini.
Di Asia, yen Jepang melonjak 0,7% terhadap dolar ke level 145,89 — tertinggi dalam enam bulan — sebagai bentuk pelarian investor ke aset safe haven.
Dukungan tambahan datang dari data upah domestik yang positif, yang memperkuat spekulasi bahwa Bank of Japan bisa segera menaikkan suku bunga.
Ketegangan dengan China dan Efek Domino di Asia Pasifik
Pasar Tiongkok dibuka kembali pada hari Senin dengan USD/CNY naik 0,4% ke 7,3121.
Ini mencerminkan kekhawatiran pasar atas dampak tarif kumulatif 54% yang dikenakan AS terhadap produk China.
Pemerintah Beijing membalas dengan bea masuk sebesar 34% atas barang-barang asal Amerika, menandai eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang.
Di Australia, AUD/USD turun tajam sebesar 0,8% ke 0,5991. Dolar Australia yang sangat sensitif terhadap risiko, khususnya terhadap perkembangan di China, ikut terdampak keras.
Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers, menyatakan bahwa perekonomian negaranya bisa terpukul bila ketegangan perdagangan memburuk, serta membuka kemungkinan penurunan suku bunga lanjutan oleh Reserve Bank of Australia.
Kesimpulan: Ketidakpastian Makin Pekat
Melemahnya dolar di awal pekan ini mencerminkan meningkatnya rasa tidak percaya pasar terhadap stabilitas ekonomi global di tengah ancaman resesi dan perang tarif.
Retorika dagang agresif dari Trump bukan hanya mengguncang Amerika Serikat, namun berpotensi memicu guncangan sistemik yang berdampak pada perekonomian global secara luas.
Pelaku pasar kini menanti bagaimana bank sentral dan pemerintah dunia akan merespons badai ekonomi yang semakin mendekat. (AA)